Female Genital Mutilation / Cutting (FGM/C), dalam bahasa Indonesia sering disebut sunat perempuan, adalah suatu praktik yang melibatkan pemotongan, pengikisan, atau perubahan lain pada alat kelamin perempuan tanpa alasan medis. Di Indonesia, FGM/C tetap menjadi isu penting karena terkait budaya, adat, religi, dan hak asasi manusia.
Praktik dan Prevalensi
-
Survei terbaru (SPHPN 2024) menunjukkan bahwa sekitar 46,3% perempuan usia 15–49 tahun di Indonesia pernah mengalami FGM/C.
-
Prevalensi lebih tinggi di kelompok usia anak (di bawah 15 tahun) yaitu sekitar 55%, terutama pada masa bayi.
-
Bentuk praktik yang umum termasuk WHO Tipe 1 (pemotongan sebagian klitoris atau kulup) dan WHO Tipe 4 (pricking, piercings, irisan kecil, goresan, atau praktik simbolik).
-
Pelaku FGM/C seringkali adalah bidan, dukun, atau tenaga kesehatan tradisional, bahkan dalam beberapa kasus rumah sakit atau fasilitas kesehatan formal.
Alasan dan Pendorong Praktik
Beberapa faktor utama yang mendukung keberlanjutan praktik FGM/C di Indonesia:
-
Budaya dan tradisi: Banyak komunitas melihat FGM/C sebagai bagian dari adat, warisan turun-temurun.
-
Keyakinan agama: Ada persepsi di antara beberapa kelompok bahwa praktik ini ada kaitannya dengan ajaran agama, meskipun para pemuka agama seperti KUPI (Konferensi Ulema Perempuan) telah mengeluarkan fatwa bahwa melakukan FGM/C tanpa indikasi medis adalah haram.
-
Medicalisasi: Perpindahan dari praktik tradisional ke pelaksanaannya di fasilitas kesehatan (oleh bidan atau tenaga medis) yang kadang-kadang dilakukan dalam paket layanan kelahiran atau imunisasi.
-
Kurangnya pemahaman tentang risiko kesehatan: Banyak orang tua percaya bahwa sunat perempuan berguna untuk kebersihan, moral, atau mencegah perilaku negatif.
Dampak Kesehatan
Praktik FGM/C membawa berbagai dampak jangka pendek maupun jangka panjang:
-
Jangka pendek: pendarahan, nyeri, luka, infeksi, bahkan risiko kematian jika prosedur dilakukan dengan alat tidak steril atau tanpa penanganan yang tepat.
-
Jangka panjang: gangguan menstruasi, infeksi saluran kemih, nyeri selama hubungan seksual, masalah psikologis seperti trauma, rasa malu, stres.
-
Reproduksi: Komplikasi saat melahirkan, kemungkinan infertilitas atau kesulitan kehamilan tergantung pada tingkat keparahan dan prosedur yang dilakukan.
Regulasi dan Kebijakan
-
Kementerian Kesehatan Indonesia telah mengeluarkan regulasi, seperti Permenkes No. 1636 Tahun 2010 dan Permenkes No. 6 Tahun 2014, yang mengatur FGM. Namun regulasi ini dinilai belum memberikan perlindungan yang menyeluruh terhadap perempuan maupun anak perempuan.
-
Pada 2006 pernah dikeluarkan Surat Edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat yang melarang medikalisasi sunat perempuan.
-
Baru-baru ini, organisasi keagamaan perempuan (KUPI) mengeluarkan fatwa menegaskan bahwa FGM/C tanpa indikasi medis adalah haram dan stakeholders (pemuka agama, tokoh masyarakat, tenaga kesehatan, keluarga) wajib memiliki kewenangan untuk melindungi perempuan dari praktik tersebut.
-
Asosiasi bidan Indonesia juga mengeluarkan surat edaran yang melarang bidan melakukan semua bentuk praktik FGM/C, termasuk simbolik.
Tantangan dalam Penghapusan Praktik
Beberapa hambatan utama yang harus dihadapi:
-
Kebijakan yang belum konsisten: Regulasi ada, tetapi implementasi dan pemahaman di masyarakat masih lemah. Banyak masyarakat tidak menyadari larangan atau bahwa praktik itu bisa membahayakan.
-
Norma sosial dan tekanan keluarga: Harapan keluarga, peran ibu dan nenek, anggapan soal kehormatan, moral, dan "kewajiban agama" terus mempengaruhi keputusan.
-
Medikalisasi menambah legitimasi: Ketika tenaga kesehatan turut melakukan FGM/C, masyarakat mungkin melihatnya sebagai praktik “aman” atau disetujui secara medis, sehingga reduksi risiko ditunda.
-
Kurangnya pendidikan dan kesadaran: Informasi tentang risiko fisik dan psikologis sering tidak sampai atau dianggap tidak relevan.
Kesimpulan
Female Genital Mutilation tetap menjadi praktik yang signifikan di Indonesia, dengan prevalensi tinggi, akar budaya dan religius yang dalam, serta dampak kesehatan yang nyata dan serius. Meskipun telah ada regulasi dan advokasi yang berkembang—termasuk fatwa keagamaan, kebijakan kesehatan, dan larangan medis—tantangan seperti norma sosial, medikalisasi, dan kurangnya penegakan hukum masih besar.
Untuk menghapus FGM/C, diperlukan upaya terpadu: pendidikan dan kesadaran masyarakat yang kuat, pelibatan tokoh agama dan komunitas, regulasi yang jelas dan tegas (termasuk kriminalisasi bila diperlukan), serta dukungan kesehatan dan psikologis bagi korban. Penguatan pengawasan, evaluasi, dan akuntabilitas juga penting agar kebijakan benar-benar berjalan di lapangan.
Sumber:
-
Country Profile: Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) in Indonesia – ARROW, 2024. Arrow
-
FGM/C in Indonesia: Systematic Review, Rafidha Nur Alifah dkk., Universitas Negeri Semarang. e-Journals
-
“The Urgency to Re-Evaluate Female Genital Mutilation Practice Among Muslim Communities in Indonesia”, Lucke Kharimah Pamungkas Saputro & Najamuddin Khairur Rijal, 2023. Berugak Journal
-
“The Female Genital Mutilation Regulations In Indonesia: The International Law, Human Rights, and Islamic Law Perspectives”, Geofani Lingga & Shihaf Ismi Salman Najib. Online Journal Universitas Jambi
-
“Analisis Dampak dari Pelaksanaan Female Genital Mutilation (FGM) Terhadap Kesehatan Reproduksi: Literature Review”, Nohan Arum Romadlona et al. UM Conference
-
Sunat Perempuan di Indonesia: Potret terhadap Praktik Female Genital Mutilation (FGM), Feni Sulistyawati & Abdul Hakim. e-Journal UIN Fatmawati Sukarno
-
“Sunat perempuan – Female Genital Mutilation berbeda”, Antara News. Antara News
-
Wacana larangan dan fatwa dari organisasi keagamaan perempuan (KUPI) dan Asosiasi bidan terkait FGM/C tanpa indikasi medis. UNFPA Indonesia
Tinggalkan komentar