Situs ini memiliki dukungan terbatas untuk browser Anda. Sebaiknya beralih ke Edge, Chrome, Safari, atau Firefox.

Gunakan kode FREESHIP untuk pesanan di atas IDR 90.000

Hai Nona! Unduh aplikasi pelacak menstruasi kami untuk iOS & Android untuk memahami lebih baik tentang siklus menstruasi kamu.

Olahraga Terbaik untuk Hormon Perempuan

Olahraga Terbaik untuk Hormon Perempuan

Hormon memiliki peran penting dalam kesehatan perempuan, memengaruhi suasana hati, energi, metabolisme, kesuburan, hingga kualitas hidup jangka panjang. Fluktuasi hormon adalah hal wajar—misalnya saat siklus menstruasi, kehamilan, dan menopause. Namun, ketidakseimbangan hormon yang kronis dapat menimbulkan masalah seperti haid tidak teratur, sindrom ovarium polikistik (PCOS), gangguan tiroid, hingga perubahan suasana hati. Penelitian menunjukkan bahwa olahraga dapat membantu menyeimbangkan hormon, asalkan jenis dan intensitasnya dipilih dengan tepat.


1. Latihan Kekuatan (Strength Training)

Latihan beban, baik dengan dumbbell, resistance band, maupun berat badan sendiri, terbukti efektif dalam mengatur hormon. Strength training meningkatkan sensitivitas insulin, yang sangat penting bagi perempuan dengan PCOS atau masalah metabolik. Latihan ini juga mendukung produksi hormon pertumbuhan serta testosteron dalam kadar sehat, yang membantu pembentukan otot, pembakaran lemak, dan kesehatan tulang.


2. Latihan Aerobik

Aktivitas aerobik intensitas sedang, seperti jalan cepat, bersepeda, atau berenang, membantu menurunkan kadar kortisol (hormon stres) sekaligus meningkatkan endorfin yang memperbaiki suasana hati. Latihan aerobik rutin juga dapat membantu menstabilkan estrogen dan progesteron, sehingga gejala PMS seperti kram atau mood swing lebih ringan.


3. Yoga dan Latihan Mind-Body

Yoga, pilates, dan tai chi bermanfaat bagi perempuan yang mengalami stres atau gangguan hormonal terkait. Yoga terbukti menurunkan kortisol dan mendukung fungsi tiroid. Beberapa pose yoga juga diyakini membantu melancarkan aliran darah ke area panggul dan mendukung keseimbangan hormon reproduksi melalui sumbu hipotalamus-hipofisis-ovarium.


4. High-Intensity Interval Training (HIIT) – dengan Batasan

HIIT adalah kombinasi latihan intensitas tinggi dengan waktu istirahat singkat. Latihan ini meningkatkan sensitivitas insulin dan merangsang hormon pertumbuhan. Namun, bila dilakukan terlalu sering, HIIT dapat meningkatkan kadar kortisol berlebih dan berisiko mengganggu siklus menstruasi. Oleh karena itu, HIIT sebaiknya dilakukan 1–2 kali per minggu saja, terutama bagi perempuan yang memiliki siklus haid tidak teratur.


5. Latihan Ringan dan Restoratif

Bagi perempuan yang menghadapi perubahan hormonal akibat perimenopause atau kelelahan adrenal, olahraga ringan seperti jalan santai, peregangan, atau restorative yoga sangat membantu. Jenis latihan ini menurunkan stres, menjaga pola kortisol tetap stabil, serta meningkatkan kualitas tidur.


Kesimpulan

Rutin berolahraga dengan kombinasi latihan kekuatan, aerobik, yoga, dan latihan ringan terbukti mendukung keseimbangan hormon pada perempuan. Kuncinya adalah menyesuaikan intensitas dengan kondisi tubuh dan fase siklus menstruasi—fokus pada kekuatan dan energi saat fase folikular, lalu pilih olahraga lebih lembut di fase luteal. Dengan keseimbangan yang tepat, perempuan dapat menjaga kesehatan hormon sekaligus meningkatkan kualitas hidup.


Sumber:

  • Boutcher, S. H. (2011). High-intensity intermittent exercise and fat loss. Journal of Obesity, 2011, 868305. https://doi.org/10.1155/2011/868305

  • Daley, A. J. (2009). Exercise and premenstrual symptomatology: A comprehensive review. Journal of Women’s Health, 18(6), 895–899. https://doi.org/10.1089/jwh.2008.1098

  • Hackney, A. C. (2020). Stress and the neuroendocrine system: The role of exercise as a stressor and modifier of stress. Expert Review of Endocrinology & Metabolism, 15(6), 395–406. https://doi.org/10.1080/17446651.2020.1827343

  • Hill, E. E., Zack, E., Battaglini, C., Viru, M., Viru, A., & Hackney, A. C. (2008). Exercise and circulating cortisol levels: The intensity threshold effect. Journal of Endocrinological Investigation, 31(7), 587–591. https://doi.org/10.1007/BF03345606

  • Innes, K. E., Bourguignon, C., & Taylor, A. G. (2005). Risk indices associated with the insulin resistance syndrome, cardiovascular disease, and possible protection with yoga: A systematic review. Journal of the American Board of Family Practice, 18(6), 491–519. https://doi.org/10.3122/jabfm.18.6.491

  • Kraemer, W. J., & Ratamess, N. A. (2005). Hormonal responses and adaptations to resistance exercise and training. Sports Medicine, 35(4), 339–361. https://doi.org/10.2165/00007256-200535040-00004

  • Willis, L. H., Slentz, C. A., Bateman, L. A., Shields, A. T., Piner, L. W., Bales, C. W., … Kraus, W. E. (2012). Effects of aerobic and/or resistance training on body mass and fat mass in overweight or obese adults. Journal of Applied Physiology, 113(12), 1831–1837. https://doi.org/10.1152/japplphysiol.01370.2011

Tinggalkan komentar

Use coupon code WELCOME10 for 10% off your first order.

Keranjang

Selamat! Pesanan Anda memenuhi syarat untuk pengiriman gratis Spend Rp 200.000 for free shipping
Tidak ada lagi produk yang tersedia untuk dibeli

Keranjang Anda saat ini kosong.